Netizentimes.id – Emily Blunt menjadi pemeran utama dalam sebuah film yang diadaptasi dari novel best seller bergenre misteri, dengan judul sama, The Girl on the Train. Novel tersebut merupakan karya dari penulis Paula Hawkins. Tapi sayang sekali, film ini tidak berhasil menyamai kesuksesan novelnya.
Novel tersebut telah terjual sebanyak 15 juta eksemplar di seluruh dunia. Alasan keberhasilan novel ini karena sebagian besar ide ceritanya yang mampu ditangkap oleh para pembaca. Karakter utamanya, Rachel, merupakan seorang wanita yang tengah mengalami perceraian, selalu murung, dan alkoholik.
Baca Vertigo (1958) – Phobia Telah Membuat Laki-laki Gagal Menyelamatkan Jiwa Perempuan Yang Dicintainya

Dia selalu melihat rumah yang sama dua kali setiap hari, yaitu ketika dia pulang dan pergi naik kereta dari rumahnya yang berlokasi di pinggiran kota ke London.
Baca Rear Window (1954) – Tetanggaku Adalah Psikopat Yang Menakutkan
Dia seringkali berpikir bahwa laki-laki dan perempuan yang dia amati di tempat tinggal tersebut adalah pasangan yang mempunyai pernikahan bahagia, tidak berbeda dengan pernikahannya dulu saat tinggal bertetanggaan di sebelah rumah itu, sebelum ketidakmampuannya untuk mengandung telah membuat ia dan suaminya berpisah, namun dia justru melampiaskannya dengen minuman keras.
Baca Disturbia – Punya Tetangga Ramah Adalah Anugerah, Tapi Menjadi Bencana Kalau Ternyata Dia Psikopat
Akan tetapi, bayangannya mengenai pasangan yang terlihat bahagia itu lenyap ketika dia menyaksikan perempuan tersebut, Megan, tengah bercumbu dengan laki-laki lain.

Keesokan harinya Megan menghilang, dan Rachel cemas apabila dia terlibat dengan kejadian itu. Masalahnya, malam pada saat Megan hilang, Rachel tengah mabuk parah karena pengaruh minuman keras.
Rachel sama sekali tidak dapat mengingat hal-hal apa saja yang dia lakukan, atau asal muasal adanya luka dan memar di tubuhnya.
The Girl On The Train Mengikuti Film Rear Window

Sekilas The Girl on the Train seperti mengikuti kisah film klasik “Rear Window” karya Alfred Hitchcock dan Disturbia karya D. J. Caruso. Namun dengan pendekatan karakter utama seorang wanita.
Kisah tentang seseorang yang tidak sengaja melihat tetangganya membunuh (atau dibunuh) seseorang memang kadangkala efektif menciptakan tontonan thriller yang memukau, seperti Rear Window atau Disturbia, namun tidak dengan The Girl On The Train.
Film ini awalnya cukup mampu menghadirkan ketegangan, namun kemudian seperti canggung di pertengahan film. Sang sutradara terlihat kebingungan untuk “mempercepat” cerita dalam novel. Film ini justru larut pada permasalahan yang menimpa karakter utama pasca perceraian, daripada menggali kisah hilangnya sang tetangga.
Meski demikian, sebenarnya The Girl On The Train tidak buruk-buruk amat dan menurut saya masih cukup manis untuk dinikmati para penggila film thriller.